Kejagung Endus Indikasi Korupsi Korporasi di Praktik TPPO
MATAKOTA, Bandung – Praktik penempatan ilegal pekerja migran Indonesia hingga tindak pidana penjualan orang (TPPO) kerap ditemukan. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut praktik ini juga mengindikasikan munculnya tindak pidana korupsi.
Menurut Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi, ada beragam permasalahan yang kerap dihadapi pekerja migran Indonesia, mulai dari permasalahan dokumen kelengkapan, biaya penempatan berlebih, overstay, gaji tidak dibayar, penganiayaan, pemerkosaan, serta kasus pidana lainnya. Mayoritas, menimpa perempuan pekerja migran Indonesia.
“Kejahatan perdagangan orang kerap dijumpai bersinggungan dengan berbagai tindak pidana lainnya seperti pencucian uang dan korupsi,” ujar Untung saat berbicara dalam Rakornas Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) di Bandung, Kamis (7/10/2021).
Rakornas tersebut dihadiri oleh Kepala PPATK Dian Ediana Rae, Kepala BP2MI Benny Rhamdani serta Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Asep N Mulyana.
Dalam kaitan praktik korupsi, Untung mencontohkan ada perusahaan yang mengirim pekerja migran secara ilegal dalam jumlah besar tanpa diketahui.
“Dari tindakan korporasi tersebut kemungkinan ada sejumlah pemasukan negara yang hilang, sehingga akhirnya justru menimbulkan potensi kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud di dalam UU Tipikor,” ucapnya, dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi.
Selain itu, kata Untung, praktik gratifikasi atau suap tak bisa juga dihindari. Menurut dia, peluang praktik ini terbuka terjadi di lingkungan pekerja migran Indonesia.
“Gratifikasi atau suap juga mungkin terjadi dalam pelayanan publik dan dokumen, pengerahan surat izin pengerahan (SIP) dalam perekrutan TKI dan lain sebagainya. Artinya subjek pelaku tindak pidana yang tidak lagi semata dilakukan oleh individu, melainkan oleh sindikat kejahatan serta korporasi yang terorganisir dan lintas negara (transnational organized crime),” tegas dia.
Untung juga menuturkan dalam praktiknya, kejahatan penjualan orang ini dilakukan oleh korporasi. Modus yang digunakan mereka sering seolah-olah membuka jasa penyalur berbentuk CV maupun PT.
Menurutnya, kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada korporasi sudah diberikan secara eksplisit dalam rumusan Undang-Undang No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.
Untung menambahkan, sebagai upaya untuk menanggulangi tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh korporasi, maka UU ini telah mengatur mengenai manusia dan korporasi sebagai subjek hukum.
“Ditempatkannya korporasi dalam subjek hukum tindak pidana human trafficking dapat memberikan harapan serta optimisme bagi upaya pengusutan dan pemberantasan tindak pidana human trafficking,” tuturnya.
Untung berujar, jaksa pun bisa berperan dalam penanganan pekerja migran ini. Salah satunya, dengan mengajukan tuntutan restitusi korban kasus perdagangan orang. Restitusi sendiri merupakan gugatan bersifat perdata.
“Dalam kasus perdagangan orang, ketentuan restitusi ditarik ke dalam ranah hukum pidana, sehingga jaksa selaku penuntut umum dapat mewakili korban mengajukan restitusi,” tutupnya. (DRY)
CASHBACK
Penulis adalah Anggota Biasa PWI sejak 1989 – sekarang. Oleh : Mirza Zulhadi MATAKOTA, …