Home Hukum Gugatan Praperadilan Natalria Siagian: Sorotan pada Proses Restorative Justice yang Dinilai Tidak Adil
Hukum - 2024-11-16

Gugatan Praperadilan Natalria Siagian: Sorotan pada Proses Restorative Justice yang Dinilai Tidak Adil

PONTIANAK ,matakota.com – Pengadilan Negeri Pontianak kembali menggelar sidang lanjutan praperadilan terkait penghentian penyidikan kasus dugaan penipuan dan penggelapan pada Jumat (15/11/2024). Agenda sidang kali ini adalah pembuktian dari pihak termohon praperadilan. Gugatan ini diajukan oleh Natalria Tetty Swan Siagian, Direktur CV SWAN, yang mempertanyakan proses restorative justice yang dinilai mengabaikan dirinya sebagai korban utama.

Sidang ini mempersoalkan penghentian penyidikan yang dilakukan pihak kepolisian tanpa melibatkan Natalria. Dalam sidang, termohon menghadirkan saksi yang ternyata merupakan penyidik di kasus yang sama, sehingga keberadaannya ditolak oleh pemohon.

Keabsahan Bukti dan Konflik Kepentingan

Tim hukum Natalria mengungkapkan bahwa bukti-bukti yang disampaikan termohon tidak menunjukkan adanya keterlibatan langsung Iwan Darmawan sebagai korban, melainkan menguatkan bahwa kerugian dialami CV SWAN. “Dalil termohon yang menyebutkan Iwan sebagai korban berdasarkan keterangan saksi dan bukti adalah keliru. Semua bukti justru menunjukkan CV SWAN sebagai pihak yang dirugikan,” ujar Zahid Johar Awal, S.H., kuasa hukum Natalria.

Ahli pidana yang dihadirkan termohon juga menuai kritik karena tidak memberikan jawaban tegas mengenai keabsahan penghentian penyidikan yang dilakukan tanpa melibatkan korban utama. “Ini menunjukkan keberpihakan yang jelas dan mengabaikan aturan hukum yang berlaku,” tambah Zahid.

SP3 dan Kontroversi Restorative Justice

Pada Agustus 2024, Polda Kalimantan Barat mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan (SP3) atas nama Muda Mahendrawan dan Urai Wisata, dengan alasan tercapainya kesepakatan restorative justice. Namun, Natalria menilai proses tersebut cacat hukum karena tidak melibatkan dirinya sebagai korban utama.

“Proses restorative justice dilakukan dengan pelapor lain yang tidak mengalami kerugian langsung, sementara korban utama diabaikan. Ini mencederai prinsip keadilan,” tegas Zahid. Ia juga menyoroti bahwa tindakan ini bertentangan dengan Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024, yang mewajibkan keterlibatan korban utama dalam proses penyelesaian.

Kritik Terhadap Penanganan Penyidikan

Advokat senior Nunang Fattah, S.H., menyebut ada penyimpangan baik secara materiil maupun formil dalam penyidikan kasus ini. “Secara materiil, hasil penyidikan tidak mencerminkan fakta sebenarnya. CV SWAN adalah pihak yang dirugikan, tetapi malah Iwan Darmawan yang menerima kompensasi,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa secara formil, proses restorative justice yang dilakukan tanpa melibatkan korban utama adalah pelanggaran serius. “Ini menunjukkan adanya konflik kepentingan yang merugikan pihak korban,” jelas Nunang.

Penegasan Keadilan Melalui Bukti-Bukti

Dalam sidang dengan nomor perkara 14/Pid.Pra/2024/PN Ptk, tim hukum Natalria memaparkan sejumlah bukti, termasuk lima SPK dan kuitansi pembayaran yang membuktikan kerugian CV SWAN. Fakta-fakta ini semakin memperkuat gugatan pemohon terhadap penghentian penyidikan yang dinilai tidak adil.

“Fakta di persidangan menunjukkan adanya pengabaian terhadap prinsip keadilan. Penghentian penyidikan ini lebih mengutamakan kepentingan pihak tertentu, termasuk tersangka,” pungkas Zahid.**

Check Also

4.575 Mahasiswa Telkom University Resmi Menyandang Gelar Akademik

MATAKOTA || Bandung — Sabtu {7\12\2024}   4.575 mahasiswa Telkom University resmi me…