Ketidakadilan Restorative Justice? Natalria Siagian Tempuh Jalur Praperadilan
PONTIANAK, matakota.com – Polemik penanganan kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang mengguncang Polda Kalimantan Barat memasuki babak baru. Natalria Tetty Swan Siagian, seorang kontraktor yang mengaku sebagai korban utama dalam kasus ini, mengajukan gugatan praperadilan setelah Polda Kalbar menghentikan penyidikan terhadap tersangka Muda Mahendrawan, S.H. tanpa melibatkan dirinya dalam proses penyelesaian.
Kasus ini bermula dari laporan Natalria pada Mei 2022, yang menyebutkan bahwa ia mengalami kerugian akibat dugaan tindakan Muda Mahendrawan dan Urai Wisata. Namun, meskipun status tersangka telah ditetapkan kepada keduanya, Polda Kalbar menghentikan penyidikan melalui Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan (SP3) setelah adanya kesepakatan damai dengan pelapor lain, Iwan Darmawan, yang bukan korban langsung dalam perkara ini.
Prosedur Restorative Justice yang Dipertanyakan
Penanganan perkara ini mulai dipersoalkan ketika Polda Kalbar menyetujui permohonan Restorative Justice dari Iwan Darmawan. Dalam kesepakatan tersebut, sejumlah uang dikembalikan kepada Iwan, meski ia bukan korban yang mengalami kerugian langsung. Natalria, yang mengaku sebagai korban utama, merasa diabaikan. Ia menilai prosedur ini melanggar Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 yang menyebutkan bahwa prinsip Restorative Justice harus memulihkan hak-hak korban, bukan sebaliknya.
Gugatan praperadilan yang diajukan Natalria juga merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024, yang menegaskan bahwa pendekatan Restorative Justice hanya dapat diterapkan apabila korban terlibat secara langsung dalam proses damai. Kuasa hukum Natalria dari Johar Fattah & Partners menyebut ketidakhadiran kliennya sebagai pelanggaran terhadap asas keadilan.
Ketidaktransparan yang Menimbulkan Kecurigaan
Sejak permintaan Restorative Justice disetujui pada Agustus 2024, Natalria mengaku tidak lagi menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang biasanya diberikan secara rutin. Pihak kepolisian juga tidak memberikan akses informasi terkait SP3 yang diterbitkan atas dasar kesepakatan dengan pihak yang bukan korban langsung. Kondisi ini, menurut Natalria, menimbulkan dugaan keberpihakan dalam penanganan kasus.
Desakan untuk Melanjutkan Penyidikan
Natalria berharap Polda Kalbar mencabut SP3 dan melanjutkan penyidikan terhadap Muda Mahendrawan dan Urai Wisata. Menurutnya, penghentian kasus tanpa melibatkan korban utama bukan hanya melanggar asas keadilan, tetapi juga menimbulkan preseden buruk bagi kasus-kasus serupa di masa depan.
Melalui gugatan praperadilan yang telah diajukan di Pengadilan Negeri Pontianak, Natalria berharap keadilan bagi dirinya dapat ditegakkan. Ia meminta agar proses hukum terhadap kedua tersangka dilanjutkan untuk mempertahankan prinsip pemulihan korban dalam sistem hukum pidana.
Dampak Potensial Terhadap Restorative Justice di Indonesia
Jika gugatan Natalria dikabulkan, kasus ini berpotensi menjadi momen penting dalam penerapan Restorative Justice di Indonesia. Prinsip utama dalam pendekatan ini adalah keterlibatan langsung korban demi pemulihan yang berkeadilan. Gugatan ini juga diharapkan memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait hak-hak korban dalam proses hukum.
Pernyataan Kuasa Hukum Korban
Zahid Johar Awal, kuasa hukum Natalria, menyatakan bahwa kliennya akhirnya memperoleh akses terhadap SP3 setelah berupaya keras, termasuk mengajukan permohonan melalui Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS). Zahid menyampaikan terima kasih kepada KOMPOLNAS yang, menurutnya, memberikan layanan yang transparan sehingga Natalria bisa memahami perkembangan kasusnya.
“Kami berharap tahapan dan hasil sidang praperadilan ini benar-benar berdasar pada prinsip keadilan dan kepastian hukum,” ujar Zahid dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/11/24) sore. Zahid juga mendesak agar sidang praperadilan ini bisa memaksa kepolisian melanjutkan proses hukum terhadap para tersangka sehingga hak-hak Natalria sebagai korban tidak terabaikan.
Integritas dalam Penanganan Kasus
Zahid, yang merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, menegaskan pentingnya menjaga nilai anti-KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dalam proses hukum. Ia menyatakan bahwa penanganan kasus ini berjalan sesuai prosedur, tanpa memanfaatkan koneksi atau hubungan pribadi.
“Sebagai alumni Unpar, saya bangga mempertahankan integritas dalam proses hukum. Saya katakan, ‘No to KKN’ karena keadilan harus ditegakkan tanpa pengaruh dari pihak-pihak tertentu,” jelasnya.
Kasus ini tidak hanya menjadi sorotan karena aspek hukum yang dilanggar, tetapi juga karena memperlihatkan komitmen masyarakat dalam memperjuangkan keadilan secara prosedural.
Harapan untuk Sistem Hukum yang Berkeadilan
Penanganan perkara ini diharapkan bisa menjadi contoh nyata komitmen pemerintah dalam menegakkan integritas sistem hukum di Indonesia. Dukungan KOMPOLNAS yang memberikan akses kepada Natalria diharapkan menjadi langkah awal menuju transparansi dan keadilan yang lebih baik.
Sidang praperadilan dalam perkara nomor: 14/Pid.Pra/2024/PN Ptk ini bukan hanya ujian bagi institusi kepolisian, tetapi juga menjadi refleksi bagi semua pihak terkait untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang adil dan berintegritas.**
4.575 Mahasiswa Telkom University Resmi Menyandang Gelar Akademik
MATAKOTA || Bandung — Sabtu {7\12\2024} 4.575 mahasiswa Telkom University resmi me…