Sidang RTH, Jelly: Tidak Ada Larangan Transaksi Tanah di Atas atau di Bawah NJOP
MATAKOTA, Bandung – Sempat tertunda sepekan, sidang kasus korupsi RTH Kota Bandung, kembali bergulir di PN Tipikor Bandung, Jalan LL RE Martadinata, Selasa (20/4/2021).
Pada sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim T Benny Eko Supriyadi tersebut, tim kuasa hukum terdakwa menghadirkan ahli keuangan negara dan kerugian negara Eko Sambodo dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Jelly Nasseri.
Keterangan Eko Sambodo, cukup mengejutkan. Dia membeberkan beberapa fakta yang menjadi sebab tidak adanya kerugian negara pada kasus yang menjerat Dadang Suganda.
“Dalam mengaudit kerugian negara tidak boleh ada keragu-raguan. Harus nyata dan pasti,” ujarnya.
Hal tersebut dinyatakan Eko untuk mengkritik Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada kasus RTH Kota Bandung, yang dinilainya tidak memenuhi standar pemeriksaan sebagaimana diatur dalam UU 15/2004.
“Kalau masih pakai kata diduga, itu berarti hasil perhitungannnya disangsikan. BPK punya kewenangan, kenapa mesti ragu,” ucap Eko.
Dia berujar, pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Menurutnya, auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak bekerja sesuai standar pada perhitungan kerugian keuangan negara (PKPN) kasus dugaan korupsi RTH Kota Bandung.
Dia pun berujar, auditor PKPN pada kasus korupsi dan pencucian uang Dadang Suganda, tidak independen dan tidak melakukan konfirmasi memyeluruh kepada seluruh pemilik tanah. “Tidak boleh menggunakan sampling, itu sebabnya hasil audit mereka tidak bisa dipakai. Karena itulah kerugian negaranya tidak ada,” terang Eko.
Saat ditelisik jaksa KPK Haerudin soal kapasitasnya selaku ahli keuangan negara, Eko menjawab dirinya 26 tahun menjadi auditor di BPK. Setelah pensiun, dia mengabdikan diri menjadi dosen dan juga sering diminta pendapatnya sebagai ahli di persidangan.
Sementara itu, ahli bidang pertanahan Jelly Nasseri membeberkan tentang perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) lunas dan tidak lunas. “Kalau PPJB lunas biasanya notaris membuatkan surat kuasa jual terpisah, kalau PPJB belum lunas notaris tidak akan mau mengeluarkan kuasa,” ujar Jelly yang mengaku menjadi PPAT sejak tahun 1995.
Dia berujar, konsep dasar transaksi jual beli tanah adalah terang dan tunai. Namun pada praktiknya karena berbagai alasan, konsep terang dan tunai itu belum dapat dipenuhi.
“Belum terpenuhi bukan berarti transaksi tidak bisa dilakukan. Ada instrumen lain, yaitu dengan PPJB sebagai pengikat, sebagai tanda jadi transaksi jual beli tersebut, sambil menunggu yang belum beres,” sebut Jelly.
Ia pun menyebut transaksi jual beli tanah tidak harus dilakukan di kantor notaris. Transaksi bisa dilakukan dimanapun sepanjang ada kesepakatan antara penjual dan pembeli.
“Tidak ada aturan yang mewajibkan penjual dan pembeli harus datang ke kantor notaris. Bisa dimana saja, di kuburan juga bisa. Prinsipnya, para pihak ada secara fisik di hadapan notaris saat membuat akta jual beli,” kata Jelly.
Dijelaskan, harga tanah tidak ada yang baku. Soal nilai jual objek pajak (NJOP) dan appraisal, hanya sebagai acuan. Tidak ada larangan transaksi di atas atau di bawah NJOP.
“Harga tanah tidak baku, itu kesepakatan antara penjual dan pembeli,” terangnya.
Kuasa hukum Efran Helmi Juni menegaskan, keterangan ahli Eko Sambodo terang benderang mengungkap adanya pelanggaran Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dilakukan auditor PKPN BPK.
“Perhitungan kerugian negara itu ada acuan, ada norma, ada SOP nya. Apa yang dilakukan auditor BPK ini kan masih banyak kalimat menduga-duga, masih memperkirakan. Padahal pada doktrin ilmu pemeriksaan itu harus terang dan pasti,” ujarnya, usai sidang.
Dia berujar, dilihat dari perspektif hukum, LHP BPK tersebut harus memuat kepastian hukum sehingga kalimat yang keluar pada dokumen menjadi clear dan pasti.
“Gak ada lagi kalimat menduga yang menimbulkan keragu-raguan. Dari kacamata ilmu auditor, itu tidak boleh,” terang Efran.
Efran berujar, keterangan ahli Eko Sambodo sangat jelas menerangkan bahwa LHP BPK tidak bisa dijadikan acuan untuk perhitungan kerugian negara pada kasus yang menjerat kliennya, Dadang Suganda.
“Karena substansinya bermasalah, yang kedua dilakukan oleh orang (auditor) yang dianggap melanggar SOP. Harusnya kan mereka objektif, independen, kalau tidak yah gimana hasilnya,” kritik Efran.
Menurutnya, dari kacamata hukum dokumen LHP BPK pada kasus yang menjerat kliennya, tidak bisa dipakai. “Sehingga akibatnya hitung-hitungan kerugian negaranya tidak bisa jadi acuan. Tidak ada kerugian negaranya,” jelas Efran.
Dia berujar, metode perhitungan kerugian negara harus menyeluruh, tidak bisa dilakukan secara sampling. Ada problem takala auditor menyamaratakan kliennya dengan Tomtom Dabul Qomar dan Kadar Slamet (dua mantan anggota DPRD Kota Bandung yang juga terjerat kasus yang sama).
“Kan jelas Pak Dadang itu bukan makelar, bukan calo tanah. Beliau pemilik, bukti kepemilikannya ada, PPJB nya ada, aktanya ada, kuasanya ada. Harusnya kan itu diperiksa oleh auditor,” katanya.
“Kemudian tadi soal skeptis, kan kalau orang yang dari dulu selama belasan tahun sudah jual beli tanah, itu kan akan ketahuan. Bukan orang yang tiba-tiba, kalau orang ini (Tomtom dan Kadar Slamet) pekerjaannya DPR, penyelenggara negara yang tiba-tiba jual beli tanah,” imbuh Efran.
Ditegaskan, metodelogi auditor BPK sudah keliru. “Mungkin cocok bagi yang lain, tapi kalau untuk beliau (Dadang Suganda) tidak bisa dipakai,” pungkasnya. (DRY)
Pemkot Bandung Siap Wujudkan 500 RW Jadi Kawasan KBS
MATAKOTA || Bandung — Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung manargetkan menghadirkan 500 …