Ada Oknum di KPK, Dadang Suganda Merasa Jadi Korban Kesewenang-wenangan Penyidik
MATAKOTA, Bandung – Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan ruang terbuka hijau (RTH) Kota Bandung, Dadang Suganda merasa menjadi korban abuse of power atau kesewenang-wenangan penyidik KPK.
Dia pun merasa ditetapkan sebagai tersangka, ekses dari penyidik yang gagal mengkondisikan keinginannya. Dengan kata lain, Dadang merasa ada hasrat atau niat tidak baik penyidik terhadap dirinya.
Unek-unek mengejutkan pengusaha asal Tasikmalaya itu disampaikannya saat memberikan kesaksian dalam sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa, di Pengadilan Tipikor Bandung, Jln. L.L.R.E Martadinata, Kamis (29/4/2021).
Awalnya Dadang menceritakan soal adanya tiga orang yang mendatangi rumahnya dan mengaku sebagai penyidik KPK. Mereka meminta agar Dadang memperlihatkan dokumen sertifikat.
Dadang lalu menelepon kuasa hukumnya dan disarankan agar dia meminta surat tugas dari ketiga orang yang mengaku penyidik KPK tersebut. Karena ketiga orang itu tak bisa memperlihatkan surat tugas, Dadang pun tak memenuhi permintaannya.
Dadang kemudian buka-bukaan soal adanya permintaan uang dari oknum penyidik saat dirinya diperiksa sebagai saksi di PAM Obvit Polda Jabar.
Ia pun tak memenuhinya, karena merasa jika mengiyakan maka dirinya benar-benar bersalah dalam kasus tersebut. Beberapa hari setelah pemeriksaan, status Dadang pun langsung dinaikkan menjadi tersangka.
“Tapi tidak (jadi) diberi. Kalau saya beri uangnya, saya seperti orang yang bersalah,” ujar dia.
“Peristiwanya saat saya masih diperiksa sebagai saksi, belum jadi tersangka. Setelah peristiwa itu, saya kemudian dipanggil ke Jakarta dan ditetapkan tersangka,” tambah Dadang.
Tak cuma itu, Dadang juga membongkar soal rekaman suara percakapan putranya Asep Rudi Saeful Rohman dengan seseorang yang diduga sebagai
oknum penyidik berinisial E.
Dalam rekaman itu, oknum tersebut meminta bertemu dan meyakinkan dengan cara menunjukan anatomi kasus RTH yang membelitnya.
“Saya tidak tahu apakah dia oknum penyidik atau di luar KPK. Tapi mereka punya anatomi kasusnya,” ujar Dadang.
“Yang pasti saya korban kesewenang-wenangan penyidik. Rekaman ini bukan sebagai bukti, tapi sebagai referensi dari unek-unek saya,” paparnya.
Dadang menambahkan, pernyataannya ini tidak bermaksud untuk menyudutkan KPK atau tim jaksa penuntut umum.
“Saya percaya dengan integritas penegak hukum di KPK. Tapi saya merasa di dalam (KPK) ada oknum,” ucapnya.
Menanggapi unek-unek yang disampaikan terdakwa Dadang Suganda, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Haerudin mencoba menanggapi.
Ia pun mempertanyakan apa yang dimaksud Dadang dan meminta agar hal itu dipastikan. “Saudara harus memastikan apakah itu benar penyidik atau bukan karena banyak contoh kasus seperti itu,” ucapnya.
Pada persidangan, tim JPU KPK juga merasa keberatan soal Dadang yang menyertakan bukti yang diperdengarkan di persidangan.
“Kami juga keberatan saudara menyertakan bukti di persidangan yang buktinya di luar dari pokok dakwaan,” kata Haerudin.
Namun, Ketua Majelis Hakim T Benny Eko Supriyadi menengahi keberatan JPU KPK atas kesaksian Dadang soal bukti rekaman.
“Tadi saudara terdakwa kan sudah menyebut bahwa rekaman suara yang dihadirkan bukan sebagai bukti, tapi sebagai referensi dan unek-unek,” kata hakim.
Sebelumnya, kuasa hukum Efran Helmi Juni mengungkapkan, mayoritas pertanyaan jaksa KPK terhadap kliennya adalah tentang transaksi jual beli tanah.
“Secara umum itu dapat kita patahkan. Itu clear soal jual beli. Kalau dikemudian hari ada kesalahan, kita tentu tidak bisa serta merta menyalahkan orang lain (Dadang Suganda). Misalnya soal adanya perubahan anggaran, itu kan gak ada hubungannya dengan klien saya selaku pihak swasta,” ucapnya kepada wartawan, saat rehat sidang.
Selain itu, terkait penetapan lokasi (Penlok) yang dipersoalkan jaksa penuntut bukanlah domain kliennya selaku swasta.
Menurut Efran, awal keikutsertaan Dadang Suganda pada proyek RTH itu adalah diundang secara resmi oleh Pemerintah Kota Bandung.
“Dia diundang, ada undangan resmi dari pemerintah kota yang saat itu akan melakukan sosialisasi tentang progam ruang terbuka hijau. Nah, Pak Dadang itu hadir karena undangan tersebut,” terang Efran.
Dijelaskan, dalam undangan resmi tersebut ada keterlibatan aparat kewilayahan seperti lurah dan camat.
“Ada juga BPN, ada seluruh pemilik tanah yang hadir. Itulah awal adanya hubungan antara klien saya selaku pemilik tanah dengan program pemerintah,” ucap Efran.
Sebelumnya, mantan Hakim Agung Prof Dr Atja Sandjaja SH MH, juga pernah memberikan tanggapan soal kasus yang menjerat Dadang Suganda ini.
Menurut dia, kasus tersebut sama sekali tak menimbulkan kerugian negara.
“Apa yang dilakukan terdakwa tidak salah dan seharusnya dia bisa dibebaskan dari segala dakwaan jaksa,” ujarnya.
Mantan Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung RI tersebut menyampaikan pandangannya saat dihadirkan sebagai ahli oleh tim penasihat hukum Dadang Suganda, Kamis 22 April 2021 lalu.
Menjawab pertanyaan jaksa KPK soal tanah yang secara administrasi belum pindah kepemilikan, Atja menjelaskan tidak ada masalah karena itu hanya administrasi saja, bukan sah tidaknya jual beli.
“Jual beli adalah penyerahan barang untuk selama lamanya, kalau belum lunas berarti utang tapi jual belinya sah, apalagi lunas,” tuturnya.
Atja juga menyatakan jual beli selama ada itikad baik, semua harus dilindungi termasuk pemerintah.
Saat itu, ia juga membahas bahwa segala perbuatan hukum perdata boleh diwakilkan, yang tidak boleh itu pidana.
Sebenarnya, kata Atja, dalam kasus ini soal uang negara jangan diributkan karena tanahnya juga sudah dimiliki pemerintah.
“Pelepasan atau pembebasan tanah sepanjang memenuhi syarat dan sepanjang tanah sudah diserahkan berarti sah jual belinya. Jadi jangan diributkan soal ada kerugian negara karana jual belinya juga sudah sah, kecuali kalau di mark up, itu bisa jadi peristiwa pidana,” terang dia. (DRY)
Pemkot Bandung Komitmen Kelola Sampah Berkelanjutan
MATAKOTA || Bandung – Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung terus berkomitmen mempertahan…